![]() |
Perempuan adalah pondasi negara |
Seringkali
perempuan menganggap rendah kemampuannya sendiri. Seringkali perempuan yang
menginginkan sukses cenderung di jauhi dan dibenci oleh perempuan lainnya
bahkan oleh laki-laki sekalipun. Banyak stigma negatif melekat pada perempuan
yang menginginkan sukses dalam dirinya, mungkin sebutan wanita karir lebih
tepat untuk perempuan semacam itu.
Ya, perempuan
karir. Eh perempuan atau wanita karir? Aku masih belum tau dimana letak perbedaan
antara sebutan wanita dan perempuan. Apakah di usia? Atau dimana? Yang aku tau
perempuan dan wanita memiliki gender yang sama. Tapi disini aku akan lebih
menggunakan kata perempuan ketimbang wanita. Kenapa? Ya karena pembahasan kita
lebih pada keperempuanan bukan pada kewanitaan.
Perempuan karir
selalu mempunyai stigma negatif dalam kalangan masyarakat, banyak yang
menganggapnya ia terlalu ambisius dan menganggap perempuan lain sebagai
saingannya, pengen menang sendiri, suka membandingkan, bahkan untuk rencana
pernikahan pun tidak terlintas dipikirannya sama sekali. Perempuan semacam ini
seperti mendapatkan tempat kotor di masyarakat, hampir sama kotornya dengan
seorang pelacur. Letak perbedaannya
dalam paradigma seksualitas adalah jika perempuan karir tidak terpikirkan hal
ikhwal tentang pernikahan. Tetapi jika pelacur, itu telah menjadi pekerjaannya
bahkan tanpa syarat menikah.
Tetapi disini
kita tidak akan memandang kedua pekerjaan itu sebagai suatu hal yang negatif,
dengan kata lain kita tidak menganggap rendah apa yang menjadi pekerjaan
perempuan tersebut. Karena pada hakikatnya perempuan itu mulia, maka kita harus
memuliakan sekalipun terhadap pekerjaannya. Jika berdasarkan hakikat perempuan
itu mulia, maka apakah perempuan itu sendiri bisa menjaga kemuliaannya dengan
melakukan hal-hal yang mulia pula? Kemuliaan itu didapat dari bagaimana
perempuan itu bisa menjaga dirinya dari berbagai serangan yang datang.
Perempuan itu menarik, banyak yang tertarik, bukan hanya laki-laki bahkan
sesama perempuan pun saling tarik menarik. Mengapa bisa terjadi? Ya, berawal
dari stigma negatif masyarakat yang memandang perempuan dalam pekerjaannya
karena menganggap dirinya tidak menjalani kodratnya sebagai seorang perempuan
sehingga muncullah syndrome saling membandingkan dan berimplikasi pada saling
menjatuhkan antara perempuan satu dengan perempuan lainnya.
Perempuan-perempuan
yang ceritakan diatas adalah perempuan mulia yang menginginkan kemerdekaan
didalam dirinya. Mereka tidak gengsi terhadap apa yang mereka lakukan, karena
mereka sedang berjuang, tidak boleh ada kata gengsi dalam sebuah perjuangan. Perempuan-perempuan
itu sedang berjuang, berjuang melawan malu, berjuang melawan kemiskinan,
berjuang melawan kebodohan, perjuangan melawan penindasan, dan
perjuangan-perjuangan lainnya yang merujuk pada kesetaraan gender. Mereka
menyadarkan dan membuktikan bahwa perempuan bukan hanya berkutat pada
seksualitas semata, bukan hanya pada dapur, sumur, dan kasur tetapi mereka pun
harus bergerak diluar kebutuhan itu supaya tidak di remehkan ataupun ditindas
oleh kapitalis. Aku sebut kapitalis? Ya, karena mereka berkuasa atas dirinya
dan menindas orang-orang yang mereka anggap remeh. Perempuan itu ingin
kesetaraan!
Perempuan-perempuan
yang mendapat stigma negatif dalam pekerjaannya adalah perempuan yang juga
mulia, mereka melakukan itu karena dengan merdeka dan riang gembira. Jika
memang mereka tidak merdeka atau terpaksa melakukan itu, mereka pasti akan
melawan keterpaksaan itu demi keikhlasan yang riang gembira. Keterpaksaan itu
muncul akibat bentuk penjajahan atas diri perempuan dikarenakan ada hal yang
belum terpenuhi atau ada hal yang dirampas. Banyak hal soal itu, namun aku
tidak akan membahas penjajahan atas perempuan dan akan ku bahas ditulisanku
selanjutnya. Yang terpenting adalah Indonesia telah menjamin kebebasan berserikat
dalam amanah UUD pasal 28E ayat (3). Maka perempuan-perempuan yang merasa
dirinya masih terjajah dapat berkumpul untuk menyatukan visi dan saling
membahu, gotong royong melawan dan merebut kembali hak atas kemerdekaannya. Dalam
sejarah Indonesia, telah banyak organisasi-organisasi perempuan, seperti Putri
Merdika pada tahun 1912, organisasi Pendidikan Kautamaan Istri yang digagas oleh
Dewi Sartika pada tahun 1904, Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia pada tahun
1929, Putri Indonesia, dan organisasi-organisasi keperempuanan lainnya yang
kesemuanya itu saling berjuang demi mendapatkan hak atau kemerdekaannya.
Kemunculan
organisasi-organisasi perempuan itu merupakan bentuk realisasi dari cita-cita
Raden Ajeng Kartini untuk memperjuangkan kedudukan sosial perempuan. Bergeraknya
organisasi-organisasi perembuan pasti mengalami jatuh bangun. Dan jatuh
bangunnya organisasi-organisasi perempuan di Indonesia menyadarkan kita bahwa
tidak ada yang mau atau pantas diperlakukan sebagai warga negara kelas dua
karena jenis kelaminnya, atau identitas-identitas primordial lain yang
dimilikinya. Karena Negara Republik Indonesia didirikan adalah bertujuan untuk
membebaskan semua warganya dari segala bentuk penindasan dan praktek
diskriminasi.
"Kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, untuk pembelajaran bagi penulis. Bisa coret di kolom komentar! Kami ucapkan terimakasih karena telah membaca. Berkah manfaat selalu. Aaamiiinn"
Alur pemikirannya bagus.. semangat terus untuk menulis sahabat 🙏sukses
BalasHapusWaaahh.. terimakasih Mbak Linda. Semoga kesuksesan kembali ke njenengan
Hapus