Konsepsi Dasar Manusia: Paradoksal Sosio-Humanistik

Orang-orang berdialektika untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya

Kita selalu dihadapkan oleh teori makhluk tentang manusia, manusia sebagai makhluk individual atau manusia sebagai makhluk sosial? Dua teori ini yang selalu menjadi dalil dalam operasionalitas manusia disepanjang hidupnya. Bagi orang yang gemar bersosial, dalil tentang manusia sebagai makhluk sosial adalah menjadi yang utama sekaligus menjadi senjata untuk membunuh orang yang tak gemar bersosial (cenderung introvert). Dukungan dari para cendikiawan tentang dalil itu cukup banyak, dalil itu pertama kali dipopulerkan oleh Aristoteles melalui gagasannya yang dikenal sebagai zoon politicon. Zoon Politicon adalah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut manusia sebagai makhluk sosial. Selain Aristoteles tokoh lain yang turut mempopulerkan manusia sebagai makhluk sosial adalah Adam Smith, dengan gagasannya Homo Homini Socius yang berarti manusia adalah sahabat bagi manusia lainnya, dan masih banyak lagi gagasan tentang manusia sebagai makhluk sosial. Memang secara realitas manusia tidak bisa hidup sendiri didunia ini, pasti selalu membutuhkan bantuan dari orang lain untuk hidup-menghidupi karena itulah manusia disebut sebagai makhluk sosial. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika orang yang gemar bersosial itu menyerang orang yang cenderung individualistis dengan memakai dalil “manusia adalah makhluk sosial”, seolah-olah bersikap individualis adalah sebuah kesalahan dalam menjalani hidup.  

             Bersikap individualis adalah bukan kesalahan, melainkan sebuah pilihan dalam menjalani hidup. Jangan terburu-buru menghukumi sesuatu tanpa disertai dengan tabayyun. Bukankah pada hakikatnya manusia adalah makhluk individual? Karena sebenarnya manusia bersikap sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan individualnya, bukan karena manusia terlahir sebagai makhluk sosial, tetapi karena sebuah tuntutan hidup agar tetap bisa survive secara terus-menerus. Bahkan menurut Thomas Hobbes, manusia adalah Homo Homini Lupus yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, ini membuktikan bahwa manusia merekayasa hidupnya sedemikian rupa agar bisa survive didalam kehidupan, bahkan dengan harus terpaksa bertindak tidak manusiawi terhadap manusia lainnya. Hal itu tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan indivdualnya. Manusia hendaknya memiliki sifat emansipatoris, karena pembebasan adalah kembali ke otentisitas dan otentisitas manusia adalah penguatan atas individualisme, sedangkan manusia sosial adalah tenggelam dalam kepalsuan.

            Manusia dianugerahi akal pikiran oleh Tuhan. Anugerah terbesar yang dimiliki manusia sebagai kelebihan sekaligus sebagai penyempurna daripada makhluk yang lainnya. Tetapi jika manusia tidak bisa menggunakan akal dengan baik, maka apa bedanya manusia dengan hewan? Jika menurut Ibnu Khaldun, manusia adalah hewan yang berakal, artinya yang membedakan manusia dengan hewan adalah akalnya. Jika akal tidak digunakan dengan baik, maka manusia sama dengan hewan yang hanya memiliki nafsu. Menggunakan akal dengan baik disini artinya akal dijadikan alat untuk menuju kebaikan dan kemaslahatan bersama, sehingga kebijaksanaan dapat terwujud didalam akal manusia. Manusia yang bijaksana menurut Qowaid Fiqhiyah adalah manusia yang dapat mendahulukan kemaslahatan daripada kemudhorotan, namun apabila terdapat dua mudhorot maka ambilah mudhorot yang paling ringan.

            Manusia bijaksana tidak akan mengesampingkan dua hal yang melekat dalam manusia itu sendiri, yaitu makhluk sosial dan makhluk individual. Namun juga tidak bisa menafikkan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk individual yang cenderung menyamar sebagai makhluk sosial, tergantung bagaimana kedua label itu ditempatkan disesuaikan dengan realitas sosial yang ada. Adakalanya manusia bersifat individualistik, adakalanya juga manusia bersifat sosialistik. Ketika manusia mengandalkan sifat sosialisnya, maka hilanglah esensialisme-subjektif didalam dirinya sehingga dirinya melebur dengan orang banyak, dan berfikir tentang orang banyak demi mencapai tujuan bersama. Ketika manusia mengandalkan sifat individualisnya, maka yang ada hanyalah ke-akuan atau subjektifitas dalam dirinya dan tidak memikirkan yang lain-lain selain kepentingan dirinya, karena menurutnya tidak ada hal yang lebih penting selain penguatan atas individualismenya. Konsepsi ini jangan sampai terbalik, karena akan menimbulkan gesekan diantara hablumminannas (hubungan manusia) dan akan lebih mendekatkan pada kemudhorotan, tentu itu bukanlah fungsi akal bijaksana yang bekerja. Jika nalar individual diterapkan dalam lingkup sosial maka yang akan terjadi adalah sifat egosentris antar sesama makhluk, dan jika ini dibiarkan terus-menerus maka akan menciptakan kondisi sosial yang tidak tertib atau bisa menimbulkan pertikaian antar sesama manusia. Begitupun sebaliknya, jika nalar sosial diterapkan dalam lingkup individual maka tidak akan bisa melakukan penguatan individualismenya, karena akan selalu terbagi fokus dengan persoalan lainnya. Bukankah setiap manusia selalu membutuhkan waktu individualis masing-masing, hanya untuk sekedar menepi dari hirup pikuknya kehidupan? Dan bukankah manusia selalu membutuhkan waktu untuk muhasabah (individual) agar selalu ingat Tuhannya, mengapa manusia diciptakan dan apa tujuan hidup didunia? Mengapa manusia disebut sebagai makhluk sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan intelektualnya melalui hubungan antar sesama makhluk sehingga labelitas manusia sebagai makhluk yang paling sempurna akan tercapai. Namun kebutuhan-kebutuhan itu hakikatnya tetap berorientasi pada kepentingan individual. Karena setiap yang bernyawa pasti lahir dengan sendiri dan akan pulang dengan sendiri.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama